Halaman

Cari Blog Ini

Senin, 20 Agustus 2012

Minal aidin wal faidin



Tanggal 19 Agustus 2012 kemarin, umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri. Hari raya kemenangan untuk menahan nafsu, sehingga mendapatkan berkah untuk kembali menjadi Fitri atau suci. Ini merupakan momen yang besar dan patut disyukuri. Merupakan ajang untuk saling memaafkan, mempererat silahturahim.


Bila kita meminta maaf artinya kita menyesal. Ada konsekuensinya bila kita menyesal yakni berusaha untuk tidak mengulanginya kembali perbuatan tersebut. Bila kita diberi kesempatan untuk kembali pada saat kita melakukan perbuatan itu, kita akan berbuat lain, berbuat yang lebih baik. Misalnya saja, kita pada 3 bulan yang lalu, kita memarahi teman kita karena dia mencontek ujian kita. Bila momen itu diulang, mungkin kita akan secara sabar menghadapi musibah itu dan tidak memarahi teman kita.
Sudah berapa kali kita menyesal dalam hidup kita? Tentu banyak bila dilihat dari seluruh aspek kehidupan kita. Bila kita mengecilkan hanya dari aspek pendidikan saja, ternyata perasaan menyesal itu cukup banyak juga. Menyesal karena tidak belajar dengan baik sehingga nilai ujian menjadi kurang dari yang diharapkan. Menyesal karena selama masa pendidikan suka mencontek sehingga sekarang tidak bisa menterapi pasien. Menyesal karena tidak berusaha lebih baik dalam menulis. Menyesal karena plagiatrism. Menyesal karena tidak membaca textbook ataupun jurnal. Dan banyak macam lainnya.

Bila kita punya mesin waktu layaknya mesin waktu Doraemon atau mobil mesin waktu “Back to the future III”, rasanya kita ingin balik ke masa itu dan memperbaiki hal-hal yang kurang itu. Tetapi saat ini waktu tidak bisa diputar mundur. Yang ada hanya saat ini dan saat yang akan datang. Oleh karena itu manfaatkan lah moment Idul Fitri ini, untuk kembali memulai yang lebih baik.
Mulai membaca. Mulai displin. Dan mulai merencanakan yang baik. Sudah saatnya Anda memulai langkah kecil itu sejak detik ini juga. Karena waktu itu berharga. Mulai lah dengan memaafkan diri sendiri dari penyesalan yang berulang.  Sehingga ucapan Minal Aidin Wal Faidin, tidak hanya diarahkan ke luar tetapi ke dalam juga. [D]

Sabtu, 11 Agustus 2012

Sekali Menulis Pantang Berhenti


Sekali menulis pantang berhenti. Ini adalah semboyan sebuah organisasi jurnalistik kedokteran di UI. Hal ini saya dapatkan ketika iseng browsing di google. Saya rasa semboyan itu mengambarkan sebuah harapan dari calon anggota, anggota dan alumninya. Akan tetapi bukan berarti orang lain tidak boleh memiliki harapan yang sama. Saya rasa semua orang ingin dapat menulis, menuangkan pemikirannya, bisa mempengaruhi orang lain, dan terus produktif dan pantang berhenti. Bila ada pepatah harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Maka cara yang paling efektif meninggalkan nama adalah dengan berkarya dan menulis sehingga meninggalkan jejak pemikiran kita.
Tidak peduli dengan besar-kecilnya pentingnya tulisan kita, tetapi dengan kita menulis, kita ada. Ada dalam arti eksis dalam dunia ini. Hal yang senada dengan cognito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tetapi jika tidak ditulis maka nama kita pun akan hilang seumur usia kita. Saya tidak dapat membayangkan sumpah Hippocrates dapat kita lantunkan saat para dokter disumpah, jika sumpah tersebut tidak dituliskannya. Dan jika Hippocrates tidak pernah menulis apapun yang ia pikirkan atau kerjakan, entah siapa yang kita anggap sebagai bapak kedokteran. Dia ada karena dia menulis.
Bagaimana dengan kita? Saya rasa tentu kita juga ingin hal yang sama, kita ingin maju. Saya mendapatkan sinyal kuat itu dari mahasiswa kedokteran UI angkatan 2011. Mereka memiliki yel-yel angkatannya dengan kata: MAJU !. Akan tetapi bila menulis hal yang sama dengan orang lain yang sudah menulisnya terlebih dahulu, tentu tulisan kita akan tenggelam. Orang tidak akan meliriknya. Hippocrates menjadi bapak kedokteran karena ia memiliki konsep pemikiran yang baru dalam pendekatan diagnosis dan terapinya. Dan kita tidak bisa memiliki pemikiran yang baru jika kita tidak membaca dan terus belajar. 
Ibarat sudah suratan garis tangannya, dokter diwajibkan untuk terus belajar seumur hidupnya. Karena ilmu pengetahuan kedokteran terus berkembang, sementara dokter juga ingin memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi pasiennya. Hal yang dipelajarinya saat ini, 50%-nya dapat saja menjadi salah dalam jangka waktu 10 tahun. Tentu dokter yang baik, harus membaca dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran di bidangnya.
Untuk berjalan satu kilometer dimulai dengan satu langkah kecil. Oleh karena itu mulailah dari sekarang membaca dan mengikuti perkembangan ilmu. Jangan mau kalah dengan semut hijau yang terus bekerja sepanjang hayatnya.[D]

Jumat, 10 Agustus 2012

Publish Or Perish

Istilah "publish or perish" itu pertama kali saya dengar pada saat sedang menonton film serial drama kedokteran, yang judulnya pun saya juga kurang ingat persis. Entah Emergency Room, entah Dr. House, entah yang lainnya. Tapi itu tak jadi soal. Yang jelas, nuansa film itu adalah suasana barat. Ketika itu dokter seniornya mengingatkan dokter juniornya untuk tetap menulis artikel kedokteran agar tetap eksis dan dapat mempertahankan karirnya. Bila ia tidak menulis maka dia akan terpental dari pusaran lingkungannya. Semakin lama semakin termaginalisasi dan akhirnya dilupakan.
         Hal ini yang membuat saya terkagum akan pemikiran orang barat itu. Mereka miliki semangat untuk terus maju. Mencari pembaharuan untuk menjadi lebih baik. Karena saya yakin dengan menulis itu kita mencurahkan segenap pemikiran kita untuk menampilkan tulisan itu dengan baik. Tentu hal ini mendorong kita untuk membuat inovasi dan penelitian baru. Penelitian yang dihargai oleh koleganya adalah penelitian yang terkait dengan masalah yang ada, berhubungan untuk kepentingan masyarakat luas dan dampaknya yang besar.
         Hal ini membuat saya membandingkan situasi di luar dan di dalam negeri kita ini, negeri Indonesia. Indonesia merupakan negara yang berkembang. Berkembang termasuk dari seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal kesehatan/kedokteran. Bila dibandingkan secara historis, Indonesia seolah kecolongan start dengan negara Barat. Mereka sudah mendapatkan renaissance (masa pencerahan) selama 12 abad yang membuat mereka dapat berpikir secara ilmiah. Negara kita boleh dibilang masih ketinggalan, walaupun banyak sarjana, tetapi sering kali tidak mengerti pola berpikir secara ilmiah.
Masih banyak dokter yang berbicara tidak berdasarkan evidence based. Hanya mengandalkan logika saja dan seolah tahu segalanya. Padahal kita tidak bisa mengeneralisir semua hal dalam kedokteran layaknya fisika. Diperlukan pembuktian secara statistik untuk menyatakan adanya suatu obat/tindakan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Dalam hal obat baru diperlukan penelitian yang berjenjang. Berjenjang disini dimulai dari penelitian pada hewan, orang sehat, orang sakit dalam komunitas terbatas dan lalu pada orang sakit pada komunitas umum.
Di era globalisasi informasi saat ini, sudah seharusnya dokter Indonesia bisa mengakselerasi diri untuk menyamakan diri dengan dokter dari luar negeri. Kita tidak boleh kalah dengan dokter lulusan luar negeri. Bila kita mau memperhatikan perbedaan yang ada adalah 1) Semangat membaca kita yang masih kurang, 2) Bahan bacaan/rujukan kita yang kurang, 3) Kurangnya pedoman/guidelines yang bersifat nasional terhadap diagnosis/terapi yang ada.
Bila Anda mengaku, termasuk dokter yang semangat untuk membaca, kemampuan Anda akhirnya terpentok dengan akses jurnal yang terbatas. Akhirnya apa yang ada baca, sudah ketinggalan. Bahkan universitas di Indonesia pun tidak mampu menyediakan akses jurnal kelas Internasional yang layak. Mungkin memang pemerintah kita tidak mampu. Dan akhirnya mesti mengandalkan sektor privat.
Saya ingin berbagai informasi adanya layanan pencarian jurnal yang relatif murah di situs Kaskus. Di situs itu saya bisa meminta jurnal untuk mendapatkan informasi terkini yang berkenaan dengan kasus yang saya temui. Saya berharap hal ini dapat menjadi gerbang bagi dokter Indonesia untuk menjadi lebih baik. 
Dan bila Anda bertanya kenapa saya berikan nama blog ini semut hijau?. Maka saya akan menjawab, saya berharap dokter Indonesia dapat bekerja/belajar layaknya semut hijau. Seumur hidupnya ia pergunakan untuk bekerja dan belajar. Biar lah saya yang menjadi salah satu semut hijau itu[D]